SECANGKIR KOPI HIDUPKU #3

Administrator 02 Agustus 2019 10:23:50 WIB

Bagaimana dengan bunga anggrekku nanti? Apakah anggrek hutanku ,Monica Anggraeni, memiliki cinta dan kesetiaan seperti bunga matahari? Aku hanya bisa berharap pada waktu. Biarlah sang waktu yang akan menjawabnya nanti. Untuk mendapatkan anggrek hutan ini tidaklah mudah. Banyak semak duri yang harus kuterjang. Ibarat bunga yang sedang mekar maka kumbang yang datangpun harus siap berjuang. Dengan modal cinta dan semangat yang membara, aku berhasil merebut hatinya.

            Aku ingin membagi kebahagiaanku pada seluruh keluargaku. Terlebih pada ayah dan ibu yang sudah lama merindukan aku memiliki seorang kekasih. Memang selama ini aku belum pernah mempunyai kekasih atau pacar seperti anak muda pada umumnya. Pada saat usiaku duapuluh lima tahun, aku baru mendapatkan seorang kekasih. Monica Anggraeni adalah cinta pertamaku. Semoga ini jodohku yang dikirimkan oleh Tuhan untuk menjadi pendamping hidupku.

            Beberapa bulan setelah resmi menjadi pacarku, dan orang tuanyapun menerimaku sebagai calon menantu, maka kuperkenalkan pada keluargaku. Kebetulan pada saat itu ayah sedang sakit di Karangrejo Magetan, sehingga aku mempunyai alasan untuk mohon ijin pada calon mertua dan mengajaknya pergi. Segala rencanaku berjalan mulus.

            Kami berdua naik becak dari Pasar Sore menuju terminal Ngawi. Sesampai di terminal kami berdiri sesaat. Beberapa kernet yang saling berebut penumpang menjadi pemandangan yang biasa di terminal itu. Namun pacarku yang masih sangat lugu tampak canggung dan takut.

            “Kita naik jurusan Madiun.” Ajakku sambil melindungi dari tarikan tangan kernet yang kasar. Kugandeng tangannya dengan mesra.

            “Itu mobilhya berangkat.” Suaranya lembut sembari mengarahkan pandangan matanya ke arah mobil yang bergerak pelan.

            “Tak usah buru-buru. Ikut yang tidak berdesakan.” Kupandang wajah cantik pacarku dengan penuh cinta. Sesaat kemudian kami berdua naik angkutan jurusan Madiun. Kami duduk berdesakan. Mobil tua bermesin diesel menderu seakan enggan berjalan. Walaupun suara bising dan bau solar menyengat, kami tak peduli. Harumnya bunga cinta yang mulai mekar mengalahkan segalanya. Tanpa terasa mobil telah memasuki wilayah Karangrejo. Di depan kecamatan Karangrejo kami berdua turun.  Kebetulan dokar sebagai alat transportasi tradisional sudah berjajar menunggu penumpang. Kami naik jurusan pasar Barat. Sekitar limabelas menit kemudian kami sudah sampai di depan rumah keluargaku.

            Kami berjalan memasuki halaman rumah tua yang mulai reot. Seorang perempuan setengah tua membuka pintu dengan tatapan heran.

            “Ini ibuku” aku memperkenalkan

            “Saya temannya...” suaranya pelan dan ucapannya terputus karena menyembunyikan rasa malu.

            “Mari masuk. Tapi beginilah keadaan kami.”

            “Saya juga dari keluarga miskin Bu.”

            “Martabat seseorang bukan dilihat dari kekayaannya, tapi dari pribadinya.” Jawab ibu seraya meyakinkan agar pacarku tidak merasa canggung. Sementara kami memasuki rumah dengan langkah pelahan. Dari dalam kamar ayahku, terdengar suara batuk yang berat.

            “Ayah bagaimana Bu?” tanyaku sedikit panik. Secara medis kondisi ayah dinyatakan kritis. Tapi ayah ingin menikmati sisa hidupnya bersama keluarga yang dicintai. Pihak rumah sakitpun memahami dan memberikan kebebasan untuk menjalani perawatan di rumah.

            “Lihatlah di kamar.”

            “Ayo masuk. Ayah di dalam.” Ajakku sambil memandang kekasihku. Diapun melangkah disampingku. Kubuka tirai kamar dan kulihat tubuh kurus ayah terbaring menahan sakit.

            “Saya datang ayah.” Bisikku mendekat sambil mencium tangannya.

            “Dengan siapa?”

            “Pacar saya ayah.” Aku memperkenalkan pacarku dengan bangga. Ayahpun tersenyum bahagia. Wajahnya yang pucat pasi mendadak tampak berseri. Sudah lama ayah merindukan aku mempunyai pacar. Ayah selalu menanyakan kapan aku memperkenalkan pacarku. Apalagi setelah merasakan bahwa usianya tak akan lama lagi. Ayah sangat menginginkan untuk melihat kebahagiaanku sebelum kembali ke hadapan Bapa di surga. Akupun ingin melihat ayah bahagia.

            “Ayah merestui hubungan kalian. Semoga kalian diberkati Tuhan.”

            “Terima kasih ayah. Ayah harus sembuh agar bisa melihat kebahagiaan kami.”

            “Saat ini ayah bahagia melihat kalian. Kebahagiaan kalian akan abadi jika dibangun atas dasar iman dan kasih.”

            “Semoga kami menjadi keluarga yang bahagia.”

            “Kalian harus bisa saling menjaga cinta dan kesetiaan. Saling jujur dan terbuka demi keutuhan keluarga. Saling mengampuni dan tak menyimpan dendam. Perjalanan hidup berumahtangga itu tak selalu indah. Maka kalian harus siap menghadapi segala cobaan.”

Kami mendengarkan dan berusaha menghayati nasehat ayah. Tanpa terasa percakapan kami sudah cukup lama. Saat kulihat jam di dinding sudah menunjukkan pukul empat sore hatiku menjadi gundah. Kami harus segera pulang agar tidak kemalaman sampai rumah. Maklum baru pertama kali mengajak pergi pacar, maka aku harus bisa menjaga kepercayaan yang diberikan padaku.

Komentar atas SECANGKIR KOPI HIDUPKU #3

Astuti 08 Oktober 2021 14:52:38 WIB
Up Penulis?

Formulir Penulisan Komentar

Nama
Alamat e-mail
Kode Keamanan
Komentar
 

Pencarian

Komentar Terkini

Media Sosial

FacebookTwitterGoogle PlussYoutubeInstagram

Statistik Kunjungan

Hari ini
Kemarin
Pengunjung