SECANGKIR KOPI HIDUPKU # 10
Administrator 06 Oktober 2019 14:18:09 WIB
Di perbatasan dusun Bajur, aku menunggu kendaraan umum jurusan Praya. Tapi sudah cukup lama tak ada mobil yang lewat. Aku hampir putus asa. Setiap terjebak dalam situasi sulit aku selalu menutup mata dan telinga kemudian berusaha mendengarkan suara hati. Tidak ada pilihan lain bagiku, kecuali harus berjalan sejauh mungkin meninggalkan dusun Bajur menuju Praya. Beruntung belum sampai sepuluh kilo meter aku berjalan, tiba-tiba ada mobil membawa jagung dan berhenti. Seorang sopir yang ramah menawarkan jasa baik padaku. Puji Tuhan aku mendapatkan tumpangan. Sopir yang baik hati dan ramah itu bercerita banyak tentang tragedi yang baru saja terjadi di Lombok. Logat Sasaknya yang kental membuatku hanya bisa menangkap sedikit pembicaraannya. Tapi pada intinya aku tahu maksudnya. Tanpa terasa mobil sudah sampai di depan pasar Praya. Aku terkejut ketika sopir itu menerobos lampu merah dan memutar mobilnya dengan gaya akrobatik.
“Saya hanya bisa mengantarkan sampai sini.”
“Terima kasih. Ini uang bensinnya.” Aku menyodorkan uang namun sopir yang baik hati itu menolak.
“Tidak usah. Cepat turun di depan ada polisi.”
“Terima kasih.” Akupun segera turun. Kulihat beberapa polisi yang berjaga segera menghampiriku. Kupikir sopir yang telah menolongku itu akan kena tilang. Namun saat kutoleh mobil itu sudah tak ada. Aku tidak tahu ke arah mana mobil itu pergi. Begitu cepatnya mobil itu hilang dari pandangan mataku. Hal itu menimbulkan tanda tanya besar dalam hatiku. Aku masih penasaran ketika seorang polisi menyapaku.
“Mau kemana?” polisi itu tampak curiga karena melihatku salah tingkah.
“Polres Pak?”
“Pengungsi?”
“Ya.”
“Dari mana kok bisa sendiri?” tanya polisi itu heran.
“Kopang.” Jawabku singkat
“Bagaimana bisa sampai sini. Padahal tim evakuasi baru berangkat dan tidak ada mobil umum. Tadi naik apa?”
“Ikut mobil membawa jagung dari Bajur.”
“Turun mana? Dari tadi tidak ada mobil.” Polisi itu mengatakan tak ada mobil.
“Di sini.” Aku yakin mobil itu benar-benar berhenti di tempat ini. Tapi sangat aneh kalau polisi itu tidak melihatnya. Aku semakin heran atas kejadian yang kualami.
“Bapak baik-baik saja?” Mungkin polisi itu mengira aku kurang sehat. Atau mungkin memang telah terjadi keajaiban. Tuhan menolongku menggunakan mobil misterius itu. Aku belum sempat meyakinkan polisi itu, ketika dia mengantarku ke penampungan pengungsi di Polres Praya.
“Mari saya antar bergabung dengan pengungsi yang lain.”
Asrama Perintis yang biasanya sebagai markas polisi disulap menjadi tempat penampungan pengungsi. Rasa khawatir yang menghantuiku hilang seketika setelah bertemu dengan beberapa teman dekatku di pengungsian itu. Mereka begitu antusias menanyakan bagaimana liku-liku yang saya alami sehingga bisa menyelamatkan diri. Mereka juga ingin tahu bagaimana situasi di luar pengungsian. Akupun menceritakan pengalamanku dengan detail. Namun ada yang meragukan kebenaran ceritaku, terutama tentang mobil misterius itu. Aku tak peduli mereka percaya atau tidak, tapi aku benar-benar mengalami peristiwa itu. Anehnya mobil itu begitu cepat pergi dan polisi yang berada di tempat kejadian juga mengatakan tidak melihat mobil. Polisi itu malah mengira bahwa aku mengalami depresi sehingga keteranganku dianggap tidak masuk akal.
Setelah beberapa saat di pengungsian dan merasa benar-benar aman, aku ingin menghubungi keluargaku di Jawa supaya tenang. Pada saat itu kami belum mengenal handphone. Untunglah di dekat pengungsian ada wartel. Aku minta ijin untuk ke wartel, karena polisi sangat ketat menjaga pengungsi. Semula tidak diijinkan, namun kemudian diperbolehkan. Dengan alasan keamanan, aku dikawal seorang polisi muda ke wartel. Alangkah senangnya saat aku bisa menghubungi keluarga via telepon rumah Pak Sidik di Ngawi. Dia sahabat baikku yang mengajar di SMP Negeri 2 Ngawi.
“Selamat sore Pak. Saya Antonius Setiawan dari Lombok.”
“Bagaimana situasinya?” dengan antusias dia menanyakan peristiwa 171 di lombok yang cukup tragis itu. Peristiwa 171 yang diberitakan melalui berbagai media nasional itu tentu sudah sangat mencemaskan keluarga kami yang tinggal di Jawa. Tragedi kemanusiaan bernuansa sara ini dikenal dengan peristiwa 171 karena terjadi pada tanggal 17 bulan 1 tahun 2000. Aku segera mengabarkan keadaanku agar keluargaku tidak terlalu cemas.
“Saya sudah aman di pengungsian Polres Praya. Tolong sampaikan keluarga di rumah. Saya dalam keadaan baik.”
“Alkhamdulillah.., nanti saya sampaikan. Semoga dalam lindungan Tuhan.”
“Terima kasih Pak. Maaf merepotkan.”
“Tidak apa-apa. Semoga cepat pulang.”
“Amin.” Telepon segera kuletakkan. Lega rasanya bisa menyampaikan berita pada keluarga di Jawa. Polisi yang mengawalku di wartel tampak ikut merasakan kegembiraanku. Aku bisa melihat dari ekspresi wajahnya yang ceria.
“Bisa menghubungi keluarga Pak?” tanya polisi itu ramah.
“Bisa Pak.”
“Syukurlah. Keluarga di rumah bisa tenang kalau sudah ada kabar.”
“Iya Pak. Terima kasih segala bantuannya.”
“Sama-sama.”
Beberapa menit kemudian aku telah bergabung dengan para pengungsi yang lain. Saatnya makan malampun tiba. Kami antri untuk mendapatkan jatah makan berupa nasi putih dan mie rebus. Apapun rejeki yang kuterima harus kusyukuri. Terima kasih ya Tuhan, atas rejeki yang telah Engkau berikan kepada kami. Semoga menyehatkan jiwa raga kami. Dan semoga mereka yang telah menyediakan hidangan ini mendapatkan berkah yang melimpah.
Para pengungsi masih berjubel di aula Polres Praya yang luas. Namun karena banyaknya jumlah pengungsi, ruang itu terasa sempit. Aku melangkah keluar untuk mencari udara segar. Namun baru beberapa langkah, kudengar namaku dipanggil melalui mikrofon. Aku segera berlari menuju ruang informasi. Seorang lelaki berwibawa telah menungguku di ruang itu. Beliau adalah bapak Lalu Juanda, kepala sekolahku. Melihatku memasuki ruang beliau berlari dan memelukku.
“Alkhamdulillah..., Pak Setiawan sehat?” Beliau memelukku lebih erat dan sesaat kemudian memandangku dengan tatapan lebih teduh.
“Berkat doa Bapak, saya sehat.” Tanganku masih dipegang erat dan digandeng menuju ruang tamu di Polres itu. Beliau segera melanjutkan pembicaraannya dan aku hanya bisa mendengarkan dengan penuh rasa haru.
“Saya mendapat kabar dari teman guru bahwa Pak Setiawan ikut mengungsi, maka saya segera mencari. Alkhamdulillah kita bisa bertemu dalam keadaan sehat.”
“Maaf, bapak jadi repot.”
“Tidak apa-apa. Mana ada seorang bapak membiarkan anaknya dalam kesulitan.”
“Terima kasih Pak.” Aku sangat terharu atas kebaikan beliau. Sementara kami masih bercakap-cakap, masuklah seorang perwira polisi ke ruang itu. Dia membungkukkan badannya di depan kepala sekolahku dan mencium tangannya.
“Maaf Miq. Saya tidak tahu kalau Mamiq (sebutan untuk bangsawan) datang.” Kepala sekolahku memang seorang bangsawan. Wajar saja bila perwira polisi itu sangat hormat padanya. Apalagi polisi itu mantan muridnya dan masih saudara. Aku merasa semakin kecil di hadapan mereka. Namun situasi menjadi lebih akrab setelah aku dikenalkan pada perwira polisi itu oleh kepala sekolahku.
“Kenalkan, ini Pak Setiawan.” Perwira polisi yang masih muda dan tampan itupun menjabat tanganku.
“Pak guru ya?” tanya sang perwira ramah.
“Iya Pak.”
“Tolong usahakan agar Pak Setiawan bisa secepatnya pulang ke Jawa dengan aman.” Bapak Lalu Juanda, kepala sekolahku, meminta pada polisi itu.
“Insyaallah Miq. Saya akan membantu Pak Setiawan.”
“Pak Setiawan tak usah khawatir. Pasti ada jalan.” Beliau meyakinkan aku.
“Terima kasih Pak.” Harapan mekar seketika dalam dadaku. Aku yakin bahwa orang-orang baik ini dikirim oleh Tuhan untuk menyelamatkan aku.
Setelah berbincang-bincang sekitar setengah jam beliau mohon ijin pulang. Aku sangat maklum, karena kondisinya belum begitu sehat.
“Pak Setiawan, saya pulang dulu. Maaf belum begitu sehat.” Beliau menjabat tanganku dan memberikan amplop berisi sejumlah uang. Rasanya hati ini semakin luluh menerima kebaikan yang begitu besar dari beliau. Tidak ada ucapan yang bisa keluar dari mulutku kecuali terima kasih. Aku mengantar beliau sampai di jalan raya depan Polres. Kuperhatikan jalannya sangat lambat dan beberapa kali berhenti karena batuknya agak berat. Beliau memang masih sakit. Kalau bukan karena rasa kemanusiaan dan tanggung jawabnya yang besar, beliau tak mungkin melakukan semua itu. Sangat jarang kutemukan orang sebaik beliau. Semoga beliau selalu diberkati Tuhan, diberi kesehatan, umur panjang dan rejeki yang melimpah.
Formulir Penulisan Komentar
Pencarian
Komentar Terkini
Statistik Kunjungan
Hari ini | ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() |
Kemarin | ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() |
Pengunjung | ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() |
- SYAWALAN PEMERINTAH KALURAHAN PETIR BERSAMA LEMBAGA
- SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI 1446 H
- LIBUR DAN CUTI BERSAMA PEMERINTAH KALURAHAN PETIR
- PENGAJIAN RUTIN AHAD PAGI MAJELIS TA'LIM USWATUN HASANAH
- SAFARI TARAWIH TIM KAPANEWON RONGKOP DI PADUKUHAN NGURAK URAK
- SAFARI TARAWIH PADUKUHAN WERU
- SAFARI TARAWIH PADUKUHAN DADAPAN